Pakar Lokal, Thinker Global: Strategi Memiliki Pengetahuan Budaya dan Sains Secara Seimbang
Di tengah arus globalisasi yang kian deras, kebutuhan akan individu yang mampu berpikir secara global (global thinker) namun tetap berakar pada kearifan lokal (local expert) semakin mendesak. Strategi Memiliki Pengetahuan yang ideal bagi generasi muda saat ini adalah menggabungkan pemahaman mendalam tentang budaya, sejarah, dan nilai-nilai lokal dengan penguasaan ilmu pengetahuan (sains, teknologi, dan matematika/STEM) berstandar internasional. Keseimbangan antara kompetensi budaya (soft skills) dan kompetensi sains (hard skills) ini menciptakan lulusan yang tidak hanya mampu bersaing di pasar global, tetapi juga mampu memecahkan masalah lokal dengan solusi inovatif yang relevan.
Salah satu pilar utama Strategi Memiliki Pengetahuan ini adalah integrasi ilmu. Di banyak lembaga pendidikan progresif, pelajaran sains dan budaya tidak lagi diajarkan secara terpisah. Contohnya adalah studi tentang arsitektur tradisional Jawa yang dianalisis menggunakan prinsip Fisika (struktur tahan gempa) dan Matematika (rasio proporsi bangunan). Pendekatan terintegrasi ini tidak hanya Strategi Memiliki Pengetahuan yang lebih komprehensif, tetapi juga menumbuhkan apresiasi terhadap sains yang terwujud dalam kearifan lokal. Lembaga Pengembangan Ilmu dan Teknologi (LPIK) telah meluncurkan modul “Sains dalam Budaya” yang digunakan oleh 500 guru di 10 provinsi, bertujuan meruntuhkan sekat antara kedua disiplin ilmu tersebut, berdasarkan data 1 April 2025.
Selanjutnya, penguasaan sains global harus diiringi dengan sertifikasi internasional. Siswa didorong untuk mengambil kursus online atau sertifikasi di luar kurikulum wajib untuk mata pelajaran STEM. Misalnya, mengambil kursus pemrograman dasar atau analisis data yang diakui secara global. Sementara itu, untuk memperkuat identitas lokal, siswa diwajibkan mengikuti program Karya Tulis Ilmiah (KTI) Budaya, di mana mereka melakukan riset mendalam tentang warisan tak benda lokal. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat mewajibkan setiap siswa SMA kelas 11 menyelesaikan minimal 1 KTI Budaya per tahun ajaran.
Kesuksesan dalam menerapkan strategi ini juga terletak pada soft skill yaitu komunikasi antarbudaya. Lulusan yang memiliki pemahaman tentang etika dan budaya lokal, mampu bernegosiasi dan berkolaborasi dengan mitra internasional secara efektif. Pusat Pelatihan Intercultural Communication mengadakan simulasi meeting bisnis lintas budaya setiap hari Jumat di akhir bulan, melatih siswa untuk memproyeksikan identitas “pakar lokal” yang percaya diri dan “pemikir global” yang adaptif. Dengan demikian, individu tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga bijaksana dan beretika dalam bertindak di panggung global.
